SORONG-Puluhan rumah warga di Kelurahan Klasuluk, Distrik Mariat SP 2, Kabupaten Sorong, kembali terendam banjir pada Senin, 15 September 2025. Air setinggi lutut hingga pinggang orang dewasa itu bukan hanya merusak perabot rumah tangga dan melumpuhkan aktivitas ekonomi warga. Yang lebih mengerikan, banjir membawa serta ketakutan yang setiap tahun menghantui kemunculan buaya di tengah permukiman.
Ketua RT 3/RW 1 Klasuluk, Trio Garianti, menyebut banjir bukanlah hal baru Genangan air sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Namun, dalam dua hingga tiga tahun terakhir, intensitas dan dampaknya meningkat drastis. “Kalau air naik sedikit saja, buaya langsung muncul,” kata Trio.
Menurutnya, dalam satu kali banjir, bisa terlihat lima hingga enam ekor buaya berkeliaran di dekat rumah warga. Meski belum ada korban jiwa manusia, beberapa hewan ternak milik warga seperti ayam sudah menjadi santapan buaya.
Kekhawatiran terbesar tentu saja menyangkut keselamatan anak-anak. Orang tua di Klasuluk kini hidup dalam ketegangan setiap kali hujan deras turun. Anak-anak yang biasanya bermain di halaman rumah harus dikurung di dalam, bukan karena air, tapi karena predator purba yang bisa menyergap kapan saja.
Banjir di Sorong dan sekitarnya memang bukan cerita baru. Tapi yang berulang setiap tahun adalah pola respons pemerintah reaktif, sementara, dan tanpa solusi jangka panjang. Warga dipaksa menutup jalan dengan palang kayu untuk mencegah kendaraan melintas dan membantu pengendara yang terjebak.
Banjir di Klasuluk bukan sekadar soal air yang menggenangi rumah. Ia adalah kombinasi dari dua ancaman sekaligus kerentanan iklim akibat curah hujan tinggi dan kerusakan lingkungan akibat buruknya tata ruang. Sungai dan kali yang menjadi jalur utama air sudah lama tersumbat sedimentasi dan sampah. Parit-parit yang seharusnya mengalirkan air ke luar permukiman kini dangkal dan nyaris tak berfungsi.
Dalam kondisi seperti itu, buaya muncul sebagai simbol paling nyata dari ketidakberdayaan kita mengelola ruang hidup. Habitat mereka yang terhimpit pembangunan bercampur dengan pemukiman, menciptakan konflik manusia-satwa yang berulang. Saat banjir datang, predator ini tidak lagi berada di alam liar, melainkan di halaman rumah warga.
Warga meminta hal yang sederhana yakni normalisasi parit dan kali, bukan hanya seremonial kunjungan pejabat. Mereka berharap pemerintah melibatkan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) untuk menangani buaya secara serius, bukan sekadar memasang papan pengumuman “Awas Buaya”.
Lebih jauh, warga butuh jaminan bahwa perencanaan tata ruang di Kabupaten Sorong tak lagi mengorbankan keselamatan masyarakat.
Tanggung Jawab yang Terus Ditunda
Banjir di Mariat adalah gambaran kecil dari masalah yang lebih besar lemahnya tata kelola lingkungan dan minimnya keberanian politik pemerintah daerah. Ketika bencana alam dianggap sebagai “rutinitas tahunan”, pemerintah hanya sibuk memadamkan api sesaat. Tidak ada peta jalan mitigasi banjir yang jelas, tidak ada mekanisme evakuasi terstruktur, apalagi langkah konkrit untuk memisahkan habitat satwa liar dari ruang hidup manusia.
” Pemerintah tegas gitu loh, kalau bisa tembak saja,” ungkap salah satu warga.
Padahal, dampak dari banjir ini nyata. Anak-anak tidak bisa sekolah, warga kehilangan ternak, perabot rusak, dan ketakutan akan buaya membatasi ruang gerak masyarakat. Trauma itu tidak terlihat di permukaan, tapi meninggalkan jejak psikologis yang panjang.
Masyarakat Klasuluk tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin bisa hidup tanpa dihantui banjir dan buaya. Pemerintah daerah harus berhenti menutup mata. Normalisasi kali, drainase yang terintegrasi, hingga penanganan habitat buaya harus menjadi prioritas nyata. Jika tidak, banjir Mariat akan terus menjadi berita tahunan, sementara rasa takut warga terus diwariskan ke generasi berikutnya.
Penulis: Andre R