SORONG -Di tengah teriknya matahari akhir Juni 2025, halaman Kantor Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Sorong tampak ramai. Warga dari berbagai distrik datang memenuhi undangan yang tak biasa: penyerahan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) dari Anggota DPR RI Komisi IV, Robert Joppy Kardinal. Bagi sebagian orang, peristiwa seperti ini mungkin hanya seremoni politik rutin. Namun, bagi para petani di pesisir dan pegunungan Sorong serta masyarakat adat yang hidup dari tanahnya, bantuan ini menjadi secercah harapan.
Robert Kardinal, satu dari sedikit politikus nasional berdarah Papua yang kini duduk di Senayan, tampaknya paham betul bahwa jalan perubahan di tanah kelahirannya tidak cukup dengan narasi besar dari pusat. Ia turun langsung, menyampaikan apa yang diperjuangkannya di Jakarta lewat bantuan nyata di lapangan. Dalam sambutannya, Robert menyebut bahwa alsintan yang disalurkan kali ini terdiri dari traktor besar, handtraktor, pompa air, rice transplanter, hingga handsprayer. Tak hanya itu, ia juga membawa bantuan ayam petelur kepada empat kelompok pekarangan bergizi yang berada di Kabupaten Sorong dan Raja Ampat.
Yang menarik, sebagian besar kelompok penerima merupakan orang asli Papua (OAP). Mereka adalah petani kecil, ibu rumah tangga di kampung, serta pemuda adat yang belakangan memilih kembali ke kampung untuk bertani. Dalam kerangka politik anggaran di Senayan, menempatkan OAP sebagai penerima utama bantuan negara bukan hal mudah. Perlu negosiasi panjang, pemetaan wilayah berbasis data lokal, dan dorongan aspirasi yang tak putus.
“Kalau bukan kita yang perjuangkan, siapa lagi?” ujar Robert saat diwawancarai beberapa waktu lalu (21/07/25). Baginya, tugas anggota DPR RI dari Papua bukan sekadar menyampaikan suara, tetapi memastikan suara itu diterjemahkan dalam bentuk program, anggaran, dan intervensi nyata ke kampung-kampung.
Tak berhenti di pertanian, Robert juga dikenal konsisten memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak Papua. Melalui jalur aspirasi sejak 2021, ia menjadi salah satu politisi yang berperan besar dalam menyalurkan Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) ke Papua Barat dan Papua Barat Daya. Data terakhir menunjukkan bahwa sebanyak 101.274 siswa telah menerima manfaat, terdiri dari siswa SD, SMP, SMA/SMK, serta ribuan mahasiswa yang kini belajar di berbagai kampus dalam dan luar Papua.
Tahun 2025, program ini kembali digulirkan dengan sasaran yang lebih tajam. Ribuan siswa dari puluhan sekolah di Sorong Raya dan sekitarnya tercatat menerima bantuan PIP, termasuk anak-anak OAP dari keluarga tidak mampu. Tak hanya itu, seratus lebih mahasiswa Papua Barat Daya kini juga tercatat sebagai penerima KIP Kuliah. Mereka tersebar di kampus-kampus di Makassar, Manado, hingga pulau Jawa.
Cerita Wenslaus, mahasiswa asal Distrik Maudus, menjadi salah satu bukti kebermanfaatan bantuan tersebut. Ia sempat berhenti kuliah pada semester tiga karena orang tuanya tak sanggup membayar uang kuliah tunggal (UKT). Kini, berkat KIP Kuliah yang ia peroleh dari aspirasi Robert Kardinal, Wenslaus kembali menata masa depannya di Universitas Negeri Makassar. “Kalau tidak ada itu, saya pasti sudah tinggal kampung. Saya tidak punya pilihan,” ucapnya,Kamis (24/07/25).
Apa yang dilakukan Robert Kardinal di tahun politik 2025 bukan sekadar strategi elektoral. Ia tampak memahami bahwa pendekatan programatik, terutama bagi orang asli Papua, harus menyasar akar: tanah dan pendidikan. Ia tak datang membawa janji, tetapi membawa peralatan. Ia tak hanya membagikan harapan, tetapi memastikan bahwa harapan itu punya wujud: traktor yang berfungsi, pompa yang hidup, dan beasiswa yang sampai ke rekening anak-anak Papua.
Meski demikian, kerja-kerja aspiratif semacam ini tetap menyisakan tantangan besar. Pertama, distribusi bantuan harus diawasi agar tak berhenti di elit lokal atau kelompok tertentu. Kedua, pemanfaatan alsintan perlu didampingi dengan pelatihan, agar tidak menjadi besi tua di halaman rumah warga. Ketiga, keberlanjutan program seperti KIP perlu dikawal hingga anak-anak Papua tidak hanya masuk sekolah dan kuliah, tetapi juga lulus dan kembali membangun kampung.
Namun, satu hal yang kini patut dicatat, nama Robert Kardinal tidak hanya dikenal di gedung DPR RI, tetapi mulai mengakar di kebun-kebun kampung dan ruang kelas mahasiswa Papua. Di tengah citra suram elite nasional yang sering dianggap jauh dari rakyat, model representasi semacam ini menjadi langka dan justru karena itu, penting.
Penulis: Andre R