SORONG – Di tengah riuh tepuk tangan dan kilatan kamera, satu hektare sawah milik Kelompok Tani Harapan Jaya SP 4, Distrik Mayamuk, Kab. Sorong, Papua Barat Daya, dipanen dengan penuh seremoni. Pemerintah daerah hadir. TNI turun tangan. Para petani tampak tersenyum. Tapi di balik semua itu, ada ironi yang terus tumbuh subur ketahanan pangan digembar-gemborkan, namun pupuk saja tak kunjung mudah dibeli.
“Yang dapat pupuk justru bukan petani,” sindir Teguh Rahayu, Ketua Kelompok Tani Harapan Jaya, saat memberikan sambutan dalam acara panen, Selasa pagi, 17 Juni 2025.
Di hadapan pejabat dan tamu undangan, Teguh membuka borok distribusi subsidi yang tak adil. Petani diharuskan membawa KTP asli untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, namun dalam praktiknya, pupuk itu justru mengalir ke tangan yang tidak berhak.
Keluhan tak berhenti pada pupuk. Solar pun menjadi barang langka, bukan karena tak tersedia, melainkan karena sulit diakses oleh petani. Banyak SPBU enggan melayani pembelian menggunakan jerigen, dengan dalih aturan. Akibatnya, mesin tanam dan alat panen kerap mangkrak.
“Solar ada, tapi petani tidak dipercaya untuk membelinya. Padahal mereka jelas butuh untuk operasional,” kata Teguh lagi.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati Sorong, KH. Ahmad Sutejo, menyebutkan bahwa stok pupuk di gudang sebenarnya aman. Tapi karena mekanisme distribusi yang terlalu kaku dan sentralistik, petani di Papua khususnya Kabupaten Sorong hanya jadi penonton dari sistem yang katanya dirancang untuk mereka.
“Kami harap pusat mau meninjau ulang kebijakan ini. Papua punya karakter berbeda. Jangan disamakan dengan Jawa,” ujar Sutejo, yang juga mengusulkan agar Dinas Pertanian memberikan surat keterangan resmi bagi petani agar bisa membeli solar secara legal.
Di balik optimisme yang dikampanyekan, sektor pertanian Sorong menghadapi tantangan serius. Tidak ada regenerasi. Generasi muda enggan menyentuh lumpur sawah. Petani semakin menua. Dalam waktu 10-15 tahun, bisa jadi, ladang-ladang itu akan kosong tanpa penerus.
“Kita sedang krisis tenaga kerja. Anak-anak muda tidak mau lagi bertani. Padahal, kalau serius, sektor ini bisa sangat menjanjikan,” kata Sutejo, yang mengaku pernah meninggalkan pertanian dan kini kembali karena sadar akan pentingnya produksi pangan.
Dinas Pertanian Kabupaten Sorong mengklaim panen kali ini sebagai bagian dari program ketahanan pangan. Luas tanam padi tahun ini mencapai 90 hektare, ditambah program padi gogo dari pusat seluas 90 hektare. Panen yang dilakukan hari itu menghasilkan sekitar 4 ton per hektare jauh dari target nasional 6-8 ton.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Jacqulin S.P., tak memungkiri masih banyak hambatan. Iklim tak menentu, gagal panen, hingga buruknya akses sarana produksi. Tapi semua itu tampaknya hanya tercatat di laporan, bukan dalam intervensi nyata.
Ketahanan pangan menjadi slogan. Tapi di akar rumput, petani terus bertarung sendirian melawan cuaca, regulasi, dan sistem distribusi yang timpang. Pemerintah hadir, tapi hanya saat panen raya. Ketika musim tanam tiba, petani kembali bertanya-tanya pupuknya ke mana, solarnya ke mana, dan siapa sebenarnya yang mereka perjuangkan?
“Kalau bukan karena keyakinan kami pada ladang ini, mungkin kami sudah berhenti sejak lama,” ucap Teguh dengan nada getir.
Sementara itu, di gedung-gedung pemerintahan, para pejabat mungkin tengah menyusun laporan sukses panen berhasil, program berjalan, dan petani tersenyum di foto. Tapi di ladang, realitas tak seindah dokumen.
Penulis: Andre R