SORONG- Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya kembali gagal mencatat sejarah meraih opini tertinggi dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Dalam rapat paripurna yang digelar di Aimas Convention Center, Senin (28/07/25), BPK secara tegas menyampaikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun anggaran 2024.
Opini WDP bukan sekadar catatan teknis akuntansi. Ia adalah cermin dari buruknya pengelolaan keuangan, lemahnya akuntabilitas, dan dugaan ketidaktertiban birokrasi. Ini bahkan terkesan menjadi pola dimana pemerintah provinsi baru ini gagal menuntaskan kewajiban administratifnya secara transparan dan bertanggung jawab.
Dalam dokumen hasil pemeriksaan yang dibacakan oleh auditor utama BPK, terungkap sejumlah persoalan fundamental yang menjadi dasar penilaian. Di antaranya adalah kelemahan dalam sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, hingga pengelolaan aset dan belanja daerah yang tidak tertib.
Tentunya Opini WDP bukan pujian melainkan sebagai peringatan keras ditengah geliat pembangunan yang saat ini sedang gencar di Kabupaten Sorong.
Beberapa masalah mencolok yang disebut dalam laporan BPK antara lain:
• Penatausahaan aset tetap yang tidak akurat dan tidak dapat diverifikasi sepenuhnya; pengeluaran yang melebihi ketentuan dan sisa dana hibah yakni senilai Rp9,4 miliar.
•Temuan atas belanja barang dan jasa yang tidak disertai bukti pertanggungjawaban yang memadai senilai 6,32 milliar
•Indikasi pembengkakan anggaran sebesar Rp4,56 miliar. Bahkan, nilai barang dan jasanya sebesar Rp4,99 miliar diragukan kewajarannya .
Dengan opini WDP ini, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya secara tersirat dinilai belum mampu menyajikan laporan keuangan yang mencerminkan kondisi sebenarnya. Ini menjadi ironi di tengah geliat pencitraan pembangunan dan belanja daerah yang bombastis.
Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Barat Daya belum menunjukkan sikap kritis yang sepadan. Paripurna yang seharusnya menjadi ajang evaluasi justru lebih mirip seremoni pengesahan tahunan, tanpa perdebatan substansial.
Situasi ini mengukuhkan satu hal: akuntabilitas fiskal masih menjadi pekerjaan rumah besar di tanah Papua Barat Daya. Jika pola ini terus berulang, bukan tidak mungkin opini WDP akan menjadi status permanen dan rakyatlah yang akhirnya menanggung akibat dari laporan keuangan yang “wajar, tapi dengan begitu banyak pengecualian”.
Penulis: Andre R