KOTA SORONG – Kuasa Hukum dari tiga tergugat yakni Samuel Hamonangan Sitorus, Labora Sitorus dan Tinje Sambite meminta Pengadilan Negeri (PN) Sorong bersikap tegas dalam mencermati Perkara yang teregistrasi dengan nomor 57/Pdt.G/2025/PN Son yang digugat oleh Ronald L Sanuddin terhadap ketiganya.
Pengadilan Negeri Sorong, menurut Kuasa Hukum Labora Sitorus, Simon Maurits Soren, seharusnya menolak gugatan Ronald.
Dalam sidang lanjutan perkara gugatan dengan nomor perkara 57/Pdt.G/2025/PN Son beragenda penyampaian bukti surat oleh penggugat maupun tergugat yang digelar, Senin (28/7/2025), ada beberapa kejanggalan.
“Berdasarkan fakta persidangan bukti surat yang diajukan oleh penggugat kepada kami sebagai tergugat I, II dan III dalam konvensi dan rekonvesi, kami melihat ada sejumlah kejanggalan,” kata Simon Soren.
Kejanggalan-kejanggalan Menurut Kuasa Hukum Tergugat
Pertama, kata Simon Soren, penggugat tidak bisa dan tidak dapat membuktikan status pemegang pelepasan tanah adat yang dikeluarkan oleh Willem R. N. Buratehi/Bewela pada tahun 2013 dengan luasan 82.000 Meter persegi.
“Berdasarkan bukti surat yang diajukan, kami melihat Penggugat tidak bisa dan tidak mampu membuktikan PGH sebagai pemegang hak atas pelepasan tanah adat yang dikeluarkan oleh Willem Burathi Bewela sebagai alas hak. Dan juga sebagai alas hak yang diajukan untuk dokumen Amdal untuk mendapatkan izin-izin reklamasi yang patut dipertanyakan keberadaannya dari sisi posisi dan bisa membuat kliennya dan masyarakat menjadi sangat dirugikan,” ungkap Simon.
Keganjilan kedua, penggugat tidak mampu membuktikan status kewarganegaraan Indonesia dari PGH atau Mr Ting.
“Ini menjadi pertanyaan kami soal status kewarganegaraan pemegang pelepasan tanah adat,” kata Simon lagi.
UUD 1945 dan UU RI nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam Pasal 21 sudah sangat jelas mencantumkan hanya warga negara Indonesia yang bisa memiliki dan menguasai hak atas tanah dalam wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dalam gugatan PGH mengajukan hak kepemilikan atas tanah, laut dan apa saja yang ada di atas tanah yang diklaim sebagai miliknya berdasarkan surat pelepasan tanah adat yang dimilikinya,” ucap Simon Soren.
Berbicara para pihak dalam sistem peradilan perdata, Simon Soren katakan sudah sangat jelas menyebutkan legal standing dari penggugat. Menurutnya, penggugat dalam perkara ini, Ronald tidak memiliki legal standing sebagai penggugat, karena yang memiliki pelepasan tanah adat atas nama pribadi PGH, bukan dilepas buat perusahaan PT Bagus Jaya Abadi.
“Kalau pelepasannya untuk perusahaan, maka siapa pun bisa mewakili untuk ditugaskan melakukan gugatan,” kata Simon Soren.
Sudah sangat jelas, kata Simon Soren, legal standing penggugat seharusnya sudah gugur demi hukum.
Dalam gugatan konvensi dan rekonvensi, lanjut Simon Soren, telah tergugat ajukan legal standing dari penggugat dalam eksepsi. Seharusnya pengadilan tegas dalam mencermati perkara ini dengan teliti.
“Ingat apapun yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong akan menjadi yurisprudensi dalam sistem peraturan perundang-undangan. Jadi persoalan penguasaan tanah oleh warga negara asing di atas wilayah administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus ada sikap tegas. Ingat ini tanah tumpah darah Indonesia hanya ada satu yaitu Tanah Air Indonesia,” kata Simon.
Simon Soren mengklaim, bahwa soal pelepasan tanah adat, kliennya selaku tergugat telah mendapatkan pelepasan tanah adat tahun 2003 dengan lokasi dan luasan yang jelas. Sedangkan yang dimiliki PGH tahun 2013 tidak jelas batasannya. Pelepasan tanah adat yang dimiliki oleh tergugat diperoleh dari Ibu kandung Willem Burathi.
Selain kepada Majelis Hakim PN Sorong, Simon Soren meminta pula kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan Pemerintah Kota Sorong agar ikut turun mengecek langsung keabsahan izin Amdal dan Reklamasi yang dikeluarkan di bawah tahun 2013.
“Disitu ada izin reklamasi seluas 12 hektar. Ini harus dilihat baik lokasi dan letaknya dimana, karena ini bisa memicu konflik antara masyarakat, pengugat dan Pemerintah. Sebab wilayah yang diklaim oleh PT BJA telah masuk dalam kawasan wisata. Apalagi secara antropologi masyarakat yang hidup di situ tidak bisa dipisahkan dengan laut. Maka tentu akan sangat menganggu kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir,” kata Simon Soren.
“Izin reklamasi kami lihat itu terbit tahun 2013. Jadi lebih dulu keluar dari izin reklamasi Tembok Berlin atau Tembok Dofior Sorong. Saat kami coba konfirmasi kepada mantan pejabat di Kota Sorong dengan tegas beliau katakan hanya keluarkan izin reklamasi tahun 2018. Tentu ini patut dipertanyakan, maka itu kami juga ada buat laporan polisi dugaan pemalsuan dokumen ke Polresta Sorong Kota,” tutup Simon Soren.